SIAK, RIAUTERBARU.com – Perempuan tidak layak jadi pemimpin, hal itu karena di dalam islam tugas untuk memimpin itu diserahkan kepada laki-laki.
Ustad Urfa salah satu pimpinan pondok pesantren di kabupaten Siak mengatakan bahwa di dalam islam menjadi seorang pemimpin merupakan tugas terberat bagi manusia. Karena harus memiliki ilmu, ketegasan dan kebijaksanaan.
Di dalam islam pun tugas untuk memimpin diserahkan kepada laki-laki, sama halnya bahwa dari seluruh nabi tidak ada yang perempuan.
Beliau menjelaskan bahwa tugas seorang pemimpin sangat berat, dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang berilmu, tegas, dan bijaksana.
“Dan ini apalagi sebagai pemimpin daerah yang dihadapkan pada banyak urusan termasuk masalah agama. Kalau bersama sama ya mau ga mau imam harus laki laki,” jelasnya.
Ustad Urfa melanjutkan bahwa dirinya menegegaskan kepada umat muslim khususnya, agar memilih pemimpin yang baik sikap, sifat dan akhlaknya. Karena setelah nantinya ditunjuk menjadi seorang pemimpin, masyarakat harus patuh dengan keputusan keputusan yang diambil oleh pemimpin tersebut, maka dari itu sebagai masyarakat, harus bijak dalam memilih pemimpin.
“Kita harus memilih pemimpin itu dari yang terbaik dari yang baik, karena pada hakikatnya, setelah seorang pemimpin itu terpilih, maka kita harus mendengarkan dan mematuhinya,” kata ustad Urfa bincang bincang di kediamannya kemarinkemarin bersama awak media.
Di dalam AlQur’an disebutkan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’ : 34)
Bagaimana maksud ayat ini.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim mengatakan mengenai ’ar rijaalu qowwamuna ’alan nisaa’, maksudnya adalah laki-laki adalah pemimpin wanita. (Ad Darul Mantsur, Jalaluddin As Suyuthi)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita. Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila wanita menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat (yang artinya), ’Allah melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah diberikan pada laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, ”Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)
Asy Syaukani rahimahullah juga mengatakan bahwa maksud ’qowwamuna’ dalam ayat ini: laki-laki seharusnya yang jadi pemimpin bagi wanita. (Fathul Qodir pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaum prialah yang mengurusi kaum wanita agar wanita tetap memperhatikan hak-hak Allah Ta’ala yaitu melaksanakan yang wajib, mencegah mereka dari berbuat kerusakan. Kaum laki-laki (baca: suami) berkewajiban pula mencari nafkah, pakaian dan tempat tinggal bagi kaum wanita.” (Taisir Karimir Rahman)
Dalam surat An Nisaa’ ayat 34 juga terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita yaitu pada ayat:
”Kemudian jika mereka (para istri) mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa istri harus menaati suaminya, bukan sebaliknya suami harus mentaati istri. (Tafsir Al Qur’an Lil Utsaimin, 5/81, Mawqi’ Al ’Allamah Al Utsaimin)
Jika laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam rumah tangga yang lingkupnya lebih kecil, bagaimana mungkin wanita dibolehkan jadi pemimpin bagi kecamatan, kabupaten, provinsi dan negara.
Laporan : Jhon