OPINI (RIAUTERBARU.COM) – Demokrasi secara umum dikatakan sebagai hidup dalam tatanan sistem politik yang demokratis. Sistem politik yang demokratis maknanya bahwa sistem politik demokratis adalah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Demokrasi modern juga dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1863 bahwa “democracy is government of the people, by the people, and for the people”.
Sejalan dengan pendapat Lincoln, Ryaas
(1996:21-24) mengulas secara mendalam pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan “oleh rakyat”. Mengapa demikian? Alasannya karena semua pemerintahan, apa pun bentuknya, pasti berasal dari rakyat (tidak ada seorang pun di antara mereka yang memerintah yang bukan berasal dari rakyat).
Jadi, hanya pemerintahan oleh rakyatlah yang murni mencerminkan demokrasi.
Dan demi terciptanya Demokrasi yang baik, maka kita harus mendorong terciptanya partisipasi pemilih yang semakin meningkat.
Secara sederhana, partisipasi politik dapat dipahami sebagai aktivitas warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan politik, dan partisipasi ini bersifat sukarela.
Sedangkan cara berpartisipasi politik, meliputi partisipasi konvesional seperti ikut dalam kegiatan kampanye dan pemilu, dan partisipasi non-konvensional, yakni partisipasi yang mengikuti kemunculan “gerakan sosial baru” seperti gerakan feminis, protes mahasiswa dan sebagainya.
Namun dalam tulisan ini, cara dan bentuk partisipasi yang dimaksudkan adalah keterlibatan warga negara dalam kegiatan pemilihan umum atau secara khusus, partisipasi pemilih yakni keikutsertaan masyarakat sebagai pemilih (memberikan suara).
Partisipasi politik lebih mengarah kepada pengertian “keikutsertaan dalam pemilu” yakni dengan “memberikan suara dalam pemilihan umum”, atau yang dalam pengertian teknis pemilihan umum adalah “datang ke TPS dan memberikan suara”. Dalam konteks pemahaman ini, dikenal beberapa kategori pemilih dalam pemilihan umum.
– Pemilih yang datang ke TPS dan memberikan suaranya secara sah.
– Pemilih yang datang ke TPS dan memberikan suaranya secara tidak sah.
– Pemilih yang tidak datang ke TPS.
Apa yang mendorong atau motivasi untuk “ikut memilih” atau “tidak ikut memilih” (kemudian disebut “golput”) tergantung dari 3 hal tadi.
Asumsi pemilih terhadap apa yang akan dipilih. Kepentingan pemilih, artinya, pemilih merasa berkepentingan terpenuhi atau tidak jika ikut pemilu. Harapan pemilih akan “nilai kebaikan” dari tujuan pemilu. ini didasari oleh asumsi bahwa pemilih (masyarakat) pada dasarnya menginginkan kondisi masyarakat yang lebih baik, termasuk dari keterlibatannya dalam aktivitas sosial maupun politik.
Berbagai persiapan untk perhelatan pemilu 2024 yang sudah sangat dekat ini, harus disiapkan dengan matang dan terukur.
Ada beberapa hal yang bisa meningkatkan partisipasi pemilih pada pemilu 2024:
1. Pendidikan politik.
Pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialog diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
2. Memaksimalkan fungsi Partai Politik (Parpol). Tujuan Parpol adalah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan/mewujudkan program-program yang telah mereka susun sesuai dengan ideologi tertentu.
3. Sosialisasi.
Dengan melakukan sosialisai, pendidikan politik kepada masyarakat yang maksimal, secara masif, maka masyrakat bisa semakin memahami begitu pentingnya jika ikut serta menjadi pemilih (datang ke TPS 14 Februari 2024).
Penulis: Moh Royani, S.Ip